Biografi Drs. Mohammad Hatta Sang Proklamator

Profil Singkat Drs. Mohammad Hatta

Nama : Drs. Mohammad Hatta (Bung Hatta)
Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980
Ayah: Muhammad Djamil
Ibu :  Siti Saleha
Istri : Rahmi Rachim
Anak :
Meutia Farida
Gemala
Halida Nuriah
Riwayat Pendidikan :
Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916)
Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919)
Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (1921)
Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)
Karir :
Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945)
Wakil Presiden Republik Indonesia pertama (18 Agustus 1945)
Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948 – Desember 1949)
Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet Republik Indonesia Serikat (Desember 1949 – Agustus 1950)

Pendidikan Dan Masa Muda Moh. Hatta

Sejak kecil, Hatta dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat pada agama, kakek beliau dari pihak ayahnya yang bernama Abdurahman Batuhampar merupakan ulama pendiri surau batu hampar yaitu salah satu surau yang bertahan pasca perang paderi. Namun pada saat Hatta berumur 7 bulan Ayah beliau yaitu Muhammad Djamil meninggal dunia, dan setelah sepeninggalan ayahnya sang ibu menikah dengan seorang pedagang dari palembang yang sering berhubungan dagang dengan kakek beliau dari pihak ibu yaitu Ilyas Bagindo Marah bernama Agus Haji Ning. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai 4 orang anak perempuan.
Moh.Hatta mengenyam pendidikan formal untuk pertama kali di sekolah swasta, namun setelah 6 bulan beliau pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan kakaknya Rafiah, Namun tidak begitu lama pelajarannya berhenti di pertengahan semester 3 lalu beliau pindah ke ELS(Europeesche Lagere School) (Sekarang SMA N 1 Padang) hingga tahun 1913. Setelah itu beliau melanjutkan pendidikan beliau di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), sejak menempuh pendidikan di MULO beliau mulai tertarik dengan perkumpulan pemuda dan beliau masuk dalam Jong Sumatranen Bond dan menjadi bendahara.
Pada tahun 1921 hingga 1932, Mohammad Hatta melanjutkan studinya di Handels Hogeschool, Belanda (Kemudian bernama Economische Hogeschool dan kini bernama Universitas Erasmus Rotterdam). Selama studi beliau masuk dalam organisasi sosial yang kemudian menjadi organisasi politik akibat pengaruh dari Ki Hadjar Dewantara, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo bernama Indische Vereniging. Pada tahun 1922, Indische Vereniging berubah nama menjadi Indonesische Vereniging, Lalu berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Pada tahun 1923 Bung Hatta menjadi bendahara dan mengasuh sebuah majalah bernama Hindia Putera (Kemudian bernama Indonesia Merdeka). Pada tahun 1923 pula Hatta lulus dalam ujian Handles economie (Ekonomi Perdagangan) dan pada tahun 1924, beliau non aktif di Perhimpunan Indonesia karena beliau berniat untuk mengikuti ujian doctoral ekonomi diakhir tahun 1925. Namun pada waktu itu ada jurusan baru yaitu hukum negara dan hukum administratif, kemudian beliau memasuki jurusan tersebut karena terdorong oleh minat besarnya pada bidang politik.
Pada 17 Januari 1926, Hatta menjadi pemimpin Perhimpunan Indonesia, akibatnya beliau terlambat menyelesaikan studinya. Dan pada tahun 1926 epatnya pada bulan desember Hatta didatangi oleh PKI yaitu Semaun yang menawarkan pimpinan pergerakan nasional secara umum pada PI Dan terjadilah suatu perjanjian yang dinamai dengan Konvensi Semaun-Hatta. Hal tersebut menjadi alasan bagi pemerintah Belanda untuk melakukan penangkapan pada Hatta. Pada waktu itu Hatta belum menyetujui paham komunis, Stalin membatalkan keinginan Semaun yang berakibat hubungan Hatta dengan Komunisme mulai memburuk, Sikap yang dilakukan oleh Hatta ditentang oleh anggota PI yang telah dikuasai komunis.
Hatta mengikuti sidang “Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan Untuk kemerdekaan Nasional” pada tahun 1927 di Frankfurt. Dalam sidang ini Hatta tidak dapat percaya dengan komunis. Pada tahun 1927 tepatnya tanggal 25 september Hatta bersama dengan Ali Sastroamidjojo, Madjid Djojohadiningrat dan juga Nazir Datuk Pamuntjak di tangkap oleh pemerintah belanda atas tuduhan mengikuti partai terlarang yang dikaitkan dengan Semaun dan juga menghasut supaya menentang kerajaan belanda. Mereka semua dipenjara di Rotterdam selama tiga tahun. Pada 22 Maret 1928, sidang kedua kasus Hatta digelar. Dalam sidang, ia melakukan penolakan terhadap semua tuduhan yang diarahan padanya dalam pidatonya yang berjudul “Indonesie Vrij atau Indonesia Merdeka” dan pidato Hatta tersebut diterbitkan menjadi brosur sampai Indonesia. Hatta beserta ketiga rekannya yang lain akhirnya dibebaskan oleh mahkamah pengadilan di Den Haag dari segala tuduhan.

Kembali Ke Indonesia

Sebulan setelah menyelesaikan pendidikannya di Belanda, Hatta kembali ke Indonesia. Di Indonesia, Hatta disibukkan dengan menulis artikel politik dan ekonomi di Daulah Ra’jat dan berbagai kegiatan politik lainnya. artikel tulisan Hatta diantaranya “Soekarno Ditahan” (10 Agustus 1933), “Tragedi Soekarno” (30 Nopember 1933), dan “Sikap Pemimpin” (10 Desember 1933), semua itu Ia tulis sebagai reaksi kerasnya terhadap sikap Soekarno yang ditahan oleh Belanda dan berakhir dengan pengasingan Soekarno ke Ende, Flores.
Setelah mengasingkan Soekarno, Pemerintah Belanda beralih ke Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pemimpin Partai Pendidikan Nasional Indonesia seperti Moh. Hatta, Sutan Sjahriri, Burhanuddin, Bondan, Murwoto, dan Maskun ditangkap dan kemudian ditahan di penjara Glodok dan Cipinang selama hampir setahun. Setelah itu mereka diasingkan ke Boven Digoel (Papua).

Masa Pengasingan

Hatta dan rekan-rekannya dari Partai Pendidikan Nasional Indonesia tiba di pengasingan yaitu di Tanah Merah, Boven Digoel(Papua) pada Januari 1935. Kapten Van Langen yang saatitu merupakan kepala pemerintahan di Boven Digoel menawarkan 2 pilihan pada mereka yaitu bekerja pada Belanda dengan upah per hari hanya 40 sen dengan harapan bisa kembali ke daerah asal atau tetap menjadi buangan yang menerima makanan in natura engan tidak ada harapan kembali ke daerah asal. Pilihan tersebut Hatta jawab dengan mengatakan bahwa jika ia mau bekerja dengan belanda saat masih di jakarta tentu ia menjadi orang besar dengan gaji tinggi, tak perlu ke Tanah Merah menjadi kuli dengan gaji hanya 40 sen saja.
Selama masa pengasingannya di Digoel, untuk memenuhi kebutuhan hidunya, Hatta menjadi penulis artikel untuk surat kabar Pemandangan. Pada Desember 1935, pengganti Van Langen yaitu Kapten Wiarda mengatakan bahwa tempat pengasingan Hatta dan Sjahrir akan dipindah ke Banda Neira, Januari 1936 mereka berangkat kesana. Disana mereka bebas bergaul dengan penduduk dan disana pula mereka bertemu dengan Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri.

Kembali Dari Pengasingan Dan Masa Kekuasaan Jepang

Pada 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang Menyerang Pearl Harbor, setelah itu Jepang mulai menguasai beberapa wilayah termasuk Indonesia. Karena keadaan yang menjadi genting dan ditakutkan para buangan bekerja sama dengan Jepang, kemudian Belanda memindahkan semua buangan ke Australia. Namun Hatta dan Sjahrir yang berada di Banda Neira dipindahkan ke Sukabumi pada 3 Februari 1942. Pada 9 Maret 1942 Belanda menyerah pada Jepang. Lalu pada 22 Maret 1942 , Hatta dan Sjahrir dibawa kembali ke Jakarta dan bertemu Mayor Jenderal Harada. Hatta bertanya pada pihak Jepang tentang kedatangannya ke Indonesia dan pihak Jepang mengatakan tidak akan menjajah Indonesia. Hatta ditawari kerja sama dengan jabatan penting, namun Ia menolak dan memilih menjadi penasehat lalu ia diberi kantor dan rumah.

Persiapan Kemerdekaan Indonesia

Pada 22 Juni BPUPKI membentuk panitia kecil yang dikenala dengan panitia sembilan yang beranggotakan Ir. Soekarno, Bung Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.
Pada 9 Agustus 1945, bersama dengan Ir.Soekarno dan KRT Radjiman Wedyodiningrat, Bung hatta pergi ke Dalat, Vietnam untuk dilantik oleh Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi sebagai ketua dan wakil ketua PPKI.
Pada tanggal 16 Agustus 1945, terjadi penculikan Bung Karno dan Bung Hatta oleh golongan pemuda dan mereka membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok dan penculikan ini dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok. Penculikan ini di lakukan agar proklamsi segera dilaksanakan secepatnya.

Menjadi Wakil Presiden RI ke-1 Dan Pengunduran Diri Sebagai Wakil Presiden

Pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta pukul 10.00 WIB, Proklamsi Kemerdekaan dibacakan. Berselang sehari yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, Bung Hatta resmi menjadi Wakil Presiden RI mendampingi Bung Karno.
Setelah menjadi wakil presiden, Bung Hatta masih aktif dalam memberikan ceramah ke berbagai lembaga pendidikan tinggi. Pada tanggal 12 Juli 1947, Hatta mengadakan Kongres Koperasi yang pertama (ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia) dan Bung Hatta ditetapkan menjadi Bapak Koperasi Indonesia.
Pada 21 Juli 1947, terjadi Agresi Militer Belanda I. Pada saat hendak menyetujui Perjanjian Renville yang berakibat jatuhnya kabiet Amir, kemudian terbentuk Kabinet Hatta pada 29 Januari 1948 dengan Hatta yang saat itu menjadi Perdana Menteri menjadi Menteri ertahana pula.
Pada tahun 1955, Bung Hatta menyatakan bahwa parlemen dan konstituante telah terbentuk dan Ia akan mengundurkan diri karena menurutnya dengan pemerintahan parlementer kepala negara hanya simbol maka wakil presiden sudah tidak diperlukan. Pada 20 Juli 1956, Bung Hatta menulis surat untuk Ketua DPR namun ditolah secara halus, kemudian ia menulis kembali surat yang sama pada tanggal 23 November 1956 yang berisi bahwa ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember 1956. Setelah 11 tahun menjabat menjadi wakil presiden, DPR mengabulkan permintaan Hatta mengundurkan diri pada sidang DPR 30 November 1956.

Setelah Pengunduran Diri Sebagai Wakil Presiden Dan Wafatnya Mohammad Hatta

Setelah mengundurkn diri, untu menambah penghasilan dari menulis buku dan mengajar. Pada tahun 1963, saat Presiden Soekarno berada pada puncak kejayaannya, Bung Hatta jatuhsakit dan perlu perawatan ke Swedia yang alatnya lebih lengkap.
Pada 15 Agustus 1972, Pada upacara kenegaraan di Istana Negara , Presiden Soeharto menyatakan bahwa Bung Hatta dianugrahi Bintang Republik Indonesia Kelas I .
Setelah dirawat selama 11 hari di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, Pada 14 Maret 1980 pada pukul 18.56 Bung Hatta meninggal dunia. Keesokan harinya, Beliau disemayamkan di rumahnya di jalan Diponegoro 57, Jakarta dan kemudian dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta dengan upacara kenegaraan yang dipimpin oleh wakil presiden Adam Malik. Pada Tahun 1986, saat pemerintahan Soeharto, Bung Hatta ditetapkan sebagai pahlawan Proklamator dan pada tahun 2012 tepatnya pada tanggal 7 November Beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Post a Comment

Previous Post Next Post