Perbedaan Pendidikan Negara Berkembang dan Negara Maju

1. Berkurangnya masa-masa bermain anak

Usia balita dan kanak-kanak adalah masa yang paling menyenangkan bagi seorang anak, karena di waktu itu mereka dapat belajar banyak hal sembari bermain. Namun di Indonesia, pengenalan pendidikan sejak dini sudah mulai diterapkan. Bahkan ada yang masih dalam masa balita, seperti memasukkannya ke playgroup dan Taman Kanak-kanak sampai dengan pemberian kursus privat.

Berkurangnya masa-masa bermain anak [image source]
Hal ini disebabkan ada persyaratan khusus ketika sang anak akan masuk Sekolah Dasar, minimal sudah dapat membaca. Memang bagus sih, karena tujuannya agar seorang anak dapat belajar bersosialisasi dan melatih motorik dan daya pikir mereka. Namun satu imbas yang secara tidak langsung didapatkan adalah masa kanak-kanak mereka akan hilang di usia yang masih terlalu dini tersebut, mereka akan mulai mengenal stres.
Bagaimana dengan di luar negeri? Salah satu contohnya di Finlandia, seorang anak dapat mulai masuk ke jenjang pendidikan dasar ketika mereka sudah berusia 7 tahun. Sebelum itu, maka mereka dapat mengeksplorasi apa yang mereka inginkan, salah satunya adalah bermain.

2. Kelas unggulan dan kelas biasa

Mungkin di seluruh negara di luar negeri tidak mengenal sistem pembagian kelas yang berisikan anak-anak pintar saja atau disebut kelas unggulan dan kelas yang berisikan siswa atau mahasiswa biasa dengan grade standar. Rata-rata semua orang akan dikumpulkan dalam satu kelas yang hanya dibedakan berdasarkan jumlahnya saja. Seperti kelas 1A, 1B dan seterusnya. Sedangkan di Indonesia ada pembagian kelas unggulan dan non-unggulan yang justru secara tidak langsung dapat menciptakan gap atau tembok pembatas antara siswa pintar dan yang biasa.

Kelas unggulan dan kelas biasa [image source]
Kelas unggulan dan kelas biasa [image source]
Memang dilihat dari sudut pandang pendidikan, salah satu tujuannya adalah agar fokus siswa atau mahasiswa yang pintar tidak terpecah ketika dicampur dengan yang biasa dan mereka dapat bersaing dengan sesama orang cerdas dalam kelasnya. Namun secara tidak langsung, sisi psikologis dari yang menempati kelas unggulan dan non-unggulan tercipta. Akan ada rasa canggung dan jengah dari siswa atau mahasiswa yang ditempatkan dalam dua jenis kelas berbeda tersebut.

3. Jam belajar berlebih

Di luar negeri, jam belajar untuk hal-hal yang berbau teori sangat terbatas dan selebihnya akan diisi dengan professional development dan praktik. Hal ini sejalan seperti yang pernah dikatakan oleh mantan Ketua PAN, Amin Raiz, yang menjelaskan bahwa Indonesia masih menganut sistem spoon feeding, sehingga guru akan menjadi sumber satu-satunya.

Jam belajar berlebih [image source]
Jam belajar berlebih [image source]
Selain itu, tambahan-tambahan ekstrakurikuler sampai dengan kursus atau bimbingan belajar juga menambah panjang jam belajar seseorang yang mengakibatkan penat dan capek tidak hanya fisik saja, melainkan juga pikiran.

4. Masa orientasi di awal masuk sekolah

Tentunya hampir semua orang di Indonesia pernah mengalami MOS atau Masa Orientasi Sekolah atau OSPEK atau Orientasi Pengenalan Kampus. Walaupun sudah banyak kasus dan pernah diwacanakan untuk dilarang diberlakukan di semua sekolah atau universitas di Indonesia, namun kegiatan ini kerap saja dilakukan.

Masa orientasi di awal masuk sekolah [image source]
Masa orientasi di awal masuk sekolah [image source]
Di Indonesia MOS dan OSPEK selalu diisi dengan aktivitas-aktivitas yang didominasi untuk mempermalukan para orang baru. Seperti mengenakan topi dari tas plastik sampai dengan memakai kaos kaki berbeda warna. Banyak panitia yang akan mengatakan bahwa tujuannya agar orang baru tersebut dapat kuat mental dan fisik sebelum benar-benar menjadi siswa atau mahasiswa di suatu sekolah atau universitas.
Akan tetapi ditilik dari sisi fungsinya yang benar-benar berguna, apakah ada manfaat dari MOS dan OSPEK tersebut? Bahkan para orang tua juga kerap khawatir ketika anak-anak mereka akan berangkat mengikuti kegiatan tersebut.
Jika di Indonesia orientasi pengenalannya seperti itu, di luar negeri, salah satu contohnya di Amerika Serikat justru dilakukan dengan cara yang lebih positif. Para siswa atau mahasiswa baru akan diajak berkeliling dan mengikuti beberapa seminar juga kajian agar mereka lebih mengenal sekolah dan kampusnya. Tidak hanya pengenalan kampus dan sekolah saja, ada pula pemberian informasi terkait segala hal yang diberikan.

5. Hasil akhir adalah segalanya

Memang segala macam ujian akan dinilai dengan hasil akhir sebagai resultnya. Hal ini diterapkan di semua jenjang pendidikan di Indonesia. Bahkan sampai ada standarisasi khusus yang banyak membuat para siswa pada khususnya stres dan depresi karena harus mencapai nilai minimal setara standarisasi sesuai dengan yang ditentukan pemerintah.
Di kebanyakan jenjang pendidikan di luar negeri, contohnya saja di Australia, hasil akhir bukanlah segala-galanya. Semua pendidik akan lebih menitikberatkan pada sektor prosesnya daripada hasil akhir. Jika dalam prosesnya saja berantakan, maka dapat diketahui bahwa hasil akhirnya juga amburadul.

Hasil akhir adalah segalanya [image source]
Hasil akhir adalah segalanya [image source]
Selain hasil akhir, dengan banyaknya materi yang diberikan dengan jam belajar yang cukup lama juga membuat seseorang tidak dapat mencerna pelajaran atau segala informasi yang diberikan karena otak terlanjur ‘panas’ dan susah untuk digunakan mengingat secara detail. Sedangkan di luar negeri, materi yang diberikan hanyalah yang berupa poin khususnya saja dan jam pendidikannya akan lebih ditikberatkan pada praktik, sehingga seorang siswa atau mahasiswa akan lebih mengerti dan paham secara langsung daripada hanya menghafal teori dan materi.

Post a Comment

Previous Post Next Post